Potret Anak Pemulung Sampah di Pulau Emas Papua
Anak Pemulung Sampah di Papua. Foto : Ist. |
Sebenarnya hal itu tak terjadi di negeri yang kaya seperti di Papua ini. Lantas, kalimat seperti itu yang akan muncul di benak kita ketika kita melihat segerombolan anak usia sekolah sedang memungut aluminium dan besi tua atau botol aqua di onggokan sampah. Hampir di setiap kota di daerah Papua anak-anak itu tak asing lagi di pandangan kita. Selalu saja mereka ada. Mereka selalu mengitari kota dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain dengan membawa karung kotor di pundaknya. Lapar, hujan dan panasnya terik matahari tak dihiraukannya demi mendapatkan nasi sepiring atau rokok sebatang di warung-warung bahkan untuk membeli buku atau pakaian sekalipun.
"Selama kemiskinan, ketakadilan, dan ketaksetaraan besar ada di dunia kita, tidak ada dari kita yang benar-benar dapat beristirahat." - Nelson Mandela
Anak-anak seusia sekolah ini selalu
menghabiskan hari-harinya di tempat-tempat sampah. Setiap hari hal yang sama
pun dilakukan. Mereka bukan hanya satu kelompok di satu kota, namun berkelompok-kelompok
bahkan sendiri-sendirian. Nasib mereka sama hanya untuk mengais nasib di kotak
sampah yang terletak di rumah warga atau pembuangan sampah umum. Kaleng fanta atau sprite yang dibuang orang di pinggir jalan atau di tempat sampah
adalah sebuah rejeki bagi mereka di atas negeri yang sebenarnya serba kaya itu.
Lalu pertanyaanya siapa yang menikmati kekayaan itu dan siapa pula yang berdosa
terhadap anak-anak ini? Apakah orang tua mereka, pemerintah atau diri mereka
sendiri. Suatu pertimbangan yang harus dilakukan!
Sebenarnya di negeri Papua, negeri yang
kaya akan pertambangan, hasil alam, budaya bahkan kaya akan uang ini takkan
terjadi hal seperti itu. Mestinya dengan kekayaan itu pembinaan demi pembinaan dilakukan.
Pendidikan adalah jalan terbaik bagi mereka dengan cara memfasilitasinya untuk
membangun karakter mereka dan mengasah keterampilan dan bakat mereka. Baik
melalui pendidikan formal maupun non-formal. Bukan membiarkan mereka terus
memulung sampah.
Pemerintah harus bisa menyediakan
sekolah baik dari SD, SMP dan SMA yang sudah terfasilitasi dengan asrama dan
alat-alat penunjang lainnya dan sekolah itu harus digratiskan dan dikhususkan
bagi anak-anak tersebut. Selain cara itu mendirikan sebuah yayasan yang bisa
membina mereka sesuai dengan bakat mereka. Baik dibidang seni, olah raga maupun
keterampilan. Untuk kedua hal ini, dari sekian banyak pemulung sampah terlebih
dahulu diseleksi untuk memilih jenis pendidikan yang tersedia di atas.
Pemerintah juga harus membuka ruang
kerja bagi mereka agar setelah mereka berhasil mereka bisa melayani masyarakat
sesuai dengan profesinya masing-masing. Itu merupakan jalan terbaik bagi mereka
yang ujung-ujungnya demi membangun papua. Disini pemerintah jangan berlagak
bodoh membagikan uang kepada mereka, hal itu sama saja membunuh mereka. Mereka
masih anak-anak. Mereka belum tahu menggunakan uang. Bagi mereka ada uang ada
rokok, ada uang ada miras. Akhirnya papua kacau.
Dengan demikian pemerintah harus
memerhatikan nasib mereka ini meski sekecil apapun dan tak sebanding dengan dana
triliunan rupiah yang dihabiskan untuk kenikmatan sesaat. Kasihan. Mereka ini adalah
sebuah generasi yang nantinya akan memimpin negerinya. Memandu negeri Papua
kedepan. Jika nasib mereka hanya sebagai seorang pemulung sampah, apakah mereka
mampu memandu negeri ini. Tidak kan !!